Ratusan tahun yang lalu, manusia
hanya mengenal 9 lambang bilangan yakni 1, 2, 2, 3, 5, 6, 7, 8, dan 9.
Kemudian, datang angka 0, sehingga jumlah lambang bilangan menjadi 10 buah.
Tidak diketahui siapa pencipta bilangan 0, bukti sejarah hanya memperlihatkan
bahwa bilangan 0 ditemukan pertama kali dalam zaman Mesir kuno. Waktu itu
bilangan nol hanya sebagai lambang. Dalam zaman modern, angka nol digunakan
tidak saja sebagai lambang, tetapi juga sebagai bilangan yang turut serta dalam
operasi matematika. Kini, penggunaan bilangan nol telah menyusup jauh ke dalam
sendi kehidupan manusia. Sistem berhitung tidak mungkin lagi mengabaikan
kehadiran bilangan nol, sekalipun bilangan nol itu membuat kekacauan
logika.
Mari kita lihat.
Pelajaran
tentang bilangan nol, dari sejak zaman dahulu sampai sekarang selalu
menimbulkan kebingungan bagi para pelajar dan mahasiswa, bahkan masyarakat
pengguna. Mengapa? Bukankah bilangan nol itu mewakili sesuatu yang tidak ada
dan yang tidak ada itu ada, yakni nol. Siapa yang tidak bingung? Tiap kali
bilangan nol muncul dalam pelajaran Matematika selalu ada ide yang aneh.
Seperti ide jika sesuatu yang ada dikalikan dengan 0 maka menjadi tidak ada.
Mungkinkah 5*0 menjadi tidak ada? (* adalah perkalian). Ide ini membuat orang
frustrasi. Apakah nol ahli sulap?
Lebih parah
lagi-tentu menambah bingung-mengapa 5+0=5 dan 5*0=5 juga? Memang demikian
aturannya, karena nol dalam perkalian merupakan bilangan identitas yang sama
dengan 1. Jadi 5*0=5*1. Tetapi, benar juga bahwa 5*0=0. Waw. Bagaimana dengan
5o=1, tetapi 50o=1 juga? Ya, sudahlah. Aturan lain tentang nol yang juga
misterius adalah bahwa suatu bilangan jika dibagi nol tidak didefinisikan.
Maksudnya, bilangan berapa pun yang tidak bisa dibagi dengan nol. Komputer yang
canggih bagaimana pun akan mati mendadak jika tiba-tiba bertemu dengan pembagi
angka nol. Komputer memang diperintahkan berhenti berpikir jika bertemu sang
divisor nol.
2. Bilangan nol: tunawisma
Bilangan
disusun berdasarkan hierarki menurut satu garis lurus. Pada titik awal adalah
bilangan nol, kemudian bilangan 1, 2, dan seterusnya. Bilangan yang lebih besar
di sebelah kanan dan bilangan yang lebih kecil di sebelah kiri. Semakin jauh ke
kanan akan semakin besar bilangan itu. Berdasarkan derajat hierarki (dan
birokrasi bilangan), seseorang jika berjalan dari titik 0 terus-menerus menuju
angka yang lebih besar ke kanan akan sampai pada bilangan yang tidak terhingga.
Tetapi, mungkin juga orang itu sampai pada titik 0 kembali. Bukankah dunia ini
bulat? Mungkinkah? Bukankah Columbus mengatakan bahwa kalau ia berlayar
terus-menerus ia akan sampai kembali ke Eropa?
Lain lagi.
Jika seseorang berangkat dari nol, ia tidak mungkin sampai ke bilangan 4 tanpa
melewati terlebih dahulu bilangan 1, 2, dan 3. Tetapi, yang lebih aneh adalah
pertanyaan mungkinkan seseorang bisa berangkat dari titik nol? Jelas tidak
bisa, karena bukankah titik nol sesuatu titik yang tidak ada? Aneh dan sulit
dipercaya? Mari kita lihat lebih jauh.
Jika di
antara dua bilangan atau antara dua buah titik terdapat sebuah ruas. Setiap
bilangan mempunyai sebuah ruas. Jika ruas ini dipotong-potong kemudian titik
lingkaran hitam dipindahkan ke tengah-tengah ruas, ternyata bilangan 0 tidak
mempunyai ruas. Jadi, bilangan nol berada di awang-awang. Bilangan nol tidak
mempunyai tempat tinggal alias tunawisma. Itulah sebabnya, mengapa bilangan nol
harus menempel pada bilangan lain, misalnya, pada angka 1 membentuk bilangan
10, 100, 109, 10.403 dan sebagainya. Jadi, seseorang tidak pernah bisa
berangkat dari angka nol menuju angka 4. Kita harus berangkat dari angka 1.
3. Mudah, tetapi salah
Guru meminta
Ani menggambarkan sebuah garis geometrik dari persamaan 3x+7y = 25. Ani
berpikir bahwa untuk mendapatkan garis itu diperlukan dua buah titik dari ujung
ke ujung. Tetapi, setelah berhitung-hitung, ternyata cuma ada satu titik yang
dilewati garis itu, yakni titik A(6, 1), untuk x=6 dan y=1. Sehingga Ani tidak
bisa membuat garis itu. Sang guru mengingatkan supaya menggunakan bilangan nol.
Ya, itulah jalan keluarnya. Pertama, berikan y=0 diperoleh x=(25-0)/3=8
(dibulatkan), merupakan titik pertama, B(8,0). Selanjutnya berikan x=0 diperoleh
y=(25-3.0)/7=4 (dibulatkan), merupakan titik kedua C(0,4). Garis BC, adalah
garis yang dicari. Namun, betapa kecewanya sang guru, karena garis itu tidak
melalui titik A. Jadi, garis BC itu salah.
Ani membela
diri bahwa kesalahan itu sangat kecil dan bisa diabaikan. Guru menyatakan bahwa
bukan kecil besarnya kesalahan, tetapi manakah yang benar? Bukankah garis BC
itu dapat dibuat melalui titik A? Kata guru, gunakan bilangan nol dengan cara
yang benar. Bagaimana kita harus membantu Ani membuat garis yang benar itu?
Mudah, kata konsultan Matematika. Mula-mula nilai 25 dalam 3x+7y harus diganti
dengan hasil perkalian 3 dan 7 sehingga diperoleh 3x+7y=21.
Selanjutnya,
dalam persamaan yang baru, berikan y=0 diperoleh x=21/3=7 (tanpa pembulatan)
itulah titik pertama P(6,1). Kemudian berikan nilai x=0 diperoleh y=21/7 = 3
(tanpa pembulatan), itulah titik kedua Q(0, 3). Garis PQ adalah garis yang
sejajar dengan garis yang dicari, yakni 3x+7y=25. Melalui titik A tarik garis
sejajar dengan PQ diperoleh garis P1Q1. Nah, begitulah. Sang murid telah
menemukan garis yang benar berkat bantuan bilangan nol.
Akan tetapi,
sang guru masih sangat kecewa karena sebenarnya tidak ada satu garis pun yang
benar. Bukankah dalam persamaan 3x1+7x2=25 hanya ada satu titik penyelesaian
yakni titik A, yang berarti persamaan 3x1+7x2 itu hanya berbentuk sebuah titik?
Bahkan pada persamaan 3x1+7x2=21 tidak ada sebuah titik pun yang berada dalam
garis PQ. Oleh karena itu, garis PQ dalam sistem bilangan bulat, sebenarnya
tidak ada. Aneh, bilangan nol telah menipu kita. Begitulah kenyataannya, sebuah
persamaan tidak selalu berbentuk sebuah garis.
4. Bergerak, tetapi diam
Bilangan
tidak hanya terdiri atas bilangan bulat, tetapi juga ada bilangan desimal
antara lain dari 0,1; 0,01; 0,001; dan seterusnya sekuat-kuat kita bisa
menyebutnya sampai sedemikian kecilnya. Karena sangat kecil tidak bisa lagi
disebut atau tidak terhingga dan pada akhirnya dianggap nol saja. Tetapi, ide
ini ternyata sempat membingungkan karena jika bilangan tidak terhingga kecilnya
dianggap nol maka berarti nol adalah bilangan terkecil? Padahal, nol mewakili
sesuatu yang tidak ada? Waw. Begitulah.
Berdasarkan
konsep bilangan desimal dan kontinu, maka garis bilangan yang kita pakai
ternyata tidak sesederhana itu karena antara dua bilangan selalu ada bilangan
ke tiga. Jika seseorang melompat dari bilangan 1 ke bilangan 2, tetapi dengan
syarat harus melompati terlebih dahulu ke bilangan desimal yang terdekat,
bisakah? Berapakah bilangan desimal terdekat sebelum sampai ke bilangan 2? Bisa
saja angka 1/2. Tetapi, anda tidak boleh melompati ke angka 1/2 karena masih
ada bilangan yang lebih kecil, yakni 1/4. Seterusnya selalu ada bilangan yang
lebih dekat... yakni 0,1 lalu ada 0,01, 0,001, ..., 0,000001. demikian
seterusnya, sehingga pada akhirnya bilangan yang paling dekat dengan angka 1
adalah bilangan yang demikian kecilnya sehingga dianggap saja nol. Karena
bilangan terdekat adalah nol alias tidak ada, maka Anda tidak pernah bisa
melompat ke bilangan 2?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar